Terjebak di Rumah Susun

Di suatu masa di tahun 2008 saya pernah diminta mendesain sebuah proyek rumah susun di Jakarta. Merasa tertantang, karena sering melihat desain-desain rumah susun yang memprihatinkan, tidak inovatif berbaris membosankan seperti bedeng tentara. Berawal dari niat untuk menghasilkan sebuah konsep hunian bertingkat yang murah, manusiawi dengan desain yang inovatif. Mula-mula isi kepala bersemangat penuh dengan ide-ide ini dan itu. Namun dalam perjalanan banyak sekali benturan kepentingan. Diujung proses, realita ekonomi pasar dan aturan-aturan pemerintah yang tidak matang akhirnya menelanjangi dan memreteli impian-impian tadi . Satu persatu idealisme desain pun menciut.

Karena diserahkan ke mekanisme pasar, maka pihak swasta lah yang memiliki peran terkuat dalam memproduksi rumah susun. Agar bisnis mereka masih masuk akal, mereka pun kemudian berhitung dengan cermat. Jika harga harus murah seperti yang dipatok pemerintah maka mereka menuntut banyak kompensasi . Triknya adalah membangun dengan meter persegi yang sangat tinggi yang tercermin dari jumlah lantai yang banyak dan biaya konstruksi yang ditekan. Di sisi lain mereka menuntut desain harus sangat efisien, dimana 85 persen lantai untuk dijual sisanya untuk sirkulasi. Di tiap lantai pun harus ‘double loaded’ dimana kiri dan kanan koridor adalah unit-unit yang dijual dengan ukuran luas yang minim atau secukupnya. Ukurannya adalah 18, 21, 27, 30 atau 36 meter persegi. Dari sisi argumentasi ekonomi, semua permintaan di atas terdengar wajar.

Namun pada saat garis rancangan ditarik di atas kertas gambar, barulah ketahuan konflik-konfliknya. Pada saat desain tapak dirumuskan, keluarlah masalah-masalahnya. Persi s seperti membuka kotak Pandora.

Untuk rumah susun di Jakarta, pemerintah umumnya memberikan hitungan KLB sebesar 5 atau luas total bangunan adalah sebesar 5 kali luas lahan. Jika luas tanah 2 hektar maka luas bangunan adalah 10 hektar. Efeknya ternyata diluar dugaan. Karena unitnya kecil-kecil maka jumlah penduduk 2 hektar ini jumlahnya bisa mencapai 16 ribu jiwa. Waktu disimulasikan, ternyata jika semua penduduk ini tiba-tiba turun ke lantai dasar untuk evakuasi, maka ruang terbuka yg tersedia yang rata-rata sekitar 60 persen dari total luas lahan tidak akan bisa menampung mereka. Sungguh merisaukan. Peraturan ini memberikan insentif untuk pengembang namun melupakan dampak ledakan populasi yang terjadi.

Dengan meter persegi yang sangat besar di atas lahan terbatas ini, maka tinggi bangunan menjadi berlapis-lapis sampai belasan atau duapuluhan lantai. Koridor pun menjadi sangat panjang, sehingga menghasilkan efek lorong yang panjang dan gelap. Lebih rumit lagi ketika ide memperlebar koridor atau membuang beberapa unit untuk lubang cahaya ditolak dengan cepatnya. Alasannnya proporsi luas terjual dan sirkulasi menjadi timpang tidak efisien. Proyek pun menjadi tidak fisibel lagi kilahnya. Dan cerita proyek Pruitt Igoe di Amerika yng dirubuhkan karena isu sosial dan keamanan rumah susun yang akut, ikut menghantui perjalanan proses ini.

Ide memperbanyak elevator agar lebih manusiawi pun sering ditolak pengembang . Alasannya mahal katanya. Padahal dengan kepadatan begitu tinggi bisa-bisa pada jam pergi atau pulang kerja , banyak penghuni yang bisa pingsan kesemutan atau mati berdiri, karena menunggu lebih dari 30 menit hanya untuk turun atau naik di rumah susun ini. Belum lagi masalah kepadatan ini pasti memicu isu-isu sosiologis. Mereka yang biasa hidup di kontrakan kampung kota, tiba-tiba harus tinggal di lantai 20. Butuh penyesuaian sosial dan kultural yang luar biasa. Isu keamanan di lorong koridor, parkir atau ruang berjualan kakilima yang juga pasti selalu hadir. Juga jangan harap rumah susun yang dibangun pihak swasta bisa punya konsep koridor sisi tunggal atau ‘single loaded’ seperti khayalan pemerintah. Pasti arsiteknya sudah dilempar sepatu duluan , ala eks presiden Bush, oleh pengembangnya.

***

Minggu-minggu setelah penugasan proyek ini adalah minggu-minggu penuh perdebatan dan adu argumentasi. Pada akhirnya memang terjadi kompromi, namun yang diatas angin tetap argumentasi hitung-hitungan ekonomi yang dibawa pihak developer. Kedudukan sementara: kreativitas babak belur oleh kalkulasi ekonomi. Pelajaran berharga yang melelahkan.

Muara dari baku hantam di atas, adalah akibat dari lemahnya peran negara dalam menjamin hak warga negara untuk memiliki rumah. Seharusnya pemerintah menyediakan perumahan atau rumah susun ini tanpa terlalu banyak peran dari pihak swasta. Sekalinya diserahkan ke hukum pasar, maka hitung-hitungan yang mengedepan ekonomi menjadi lokomotifnya. Isu sosiologis, kultural dan ekologis sering terabaikan. Kampanye 1000 tower yang dicanangkan pemerintah akhirnya lebih terdengar sebagai bualan politik di atas awan ketimbang rencana planologis yang masuk akal.

Memang harga jual sudah dipatok tidak lebih tinggi dari 144 juta untuk para pembeli yang berpenghasilan maksimal 4,5 juta Rupiah. Seolah-olah dengan harga yang dianggap cukup terjangkau ini, urusan selesai. Padahal pihak pengembang tetap saja berpikir bisnis. Oke lah harga ditekan rendah, tapi beri saya jumlah unit yang ribuan, pikir mereka. Mereka berkalkulasi, tidak apa-apa mendapatkan recehan, asal jumlahnya segudang ala kekayaan karakter komik Paman Gober dari majalah anak-anak. Itulah asal muasal diberi kepadatan bernilai 5 kali dari luas lahan.

Lucunya, setelah direnungkan, ternyata akhirnya ketahuan bahwa semua pihak sedang belajar apa itu artinya rumah susun. Pemerintah yang kurang teliti, pengembang yang berhitung ekonomi namun tidak berhitung biaya sosial kultural, dan tentunya arsitek-arsitek yang cemas terjebak dalam pusaran ini. Pihak-pihak yang sering mengeritik wacana rumah susun pun sering lupa bahwa rumah susun yang ideal secara sosiologis dan kultural hanya bisa terjadi jika proyeknya disediakan 100 persen oleh pihak pemerintah dengan subsidi yang sangat besar. Dalam pusaran hukum pasar ini, saya sendiri melihat langsung bagaimana proyek-proyek rumah susun yang lolos dalam proses perjinan, desainnya sangat minim inovasi, berbaris bak bedeng tentara, tampak bangunan yang polos sambil tinggi menjulang. Bahkan sayembara-sayembara desain rumah susun yang katanya hasilnya sangat inovatif, dijamin banyak yang tidak aplikatif jika diceburkan dalam konteks hukum pasar seperti ini. Proses berarsitektur adalah proses berkompromi.

Itulah pelajaran pertama dari perjalanan yang melelahkan ini. Lelah karena harus berjibaku argumen atau ide antara idealisasi desain dengan tekanan hitungan ekonomis yang maha berat. Pelajaran berikutnya adalah sebuah kesimpulan bahwa negaralah yang seharusnya menjadi konseptor sekaligus pengembang rumah susun ini. Tapi apa daya, negara selalu mengaku tidak punya dana cukup.

Namun pelajaran terpenting dari perjalanan yang melelahkan ini adalah bahwa rumah susun berkepadatan tinggi tetap menjadi konsep berhuni yang paling kontekstual dalam merespon beban kota-kota besar di Indonesia. Karenanya wahai para arsitek, anda tidak boleh putus asa dan teruslah berinovasi yang disempurnakan dengan berdoa. Demi masa depan peradaban kita semua, masa depan kota, masa depan tempat tinggal anak dan cucu kita. ***

Going Green is Good Business

Ini tentang Jakarta. Beberapa tahun terakhir ini saya iseng membandingkan dua perkara: jumlah dan nilai proyek properti di Jakarta diperbandingkan dengan indeks kualitas hidup Jakarta. Hasilnya mencengangkan tapi tidak mengagetkan. Empat tahun terakhir investasi properti komersial sudah lebih dari 150 trilyun. Artinya banyak uang sudah digelontorkan untuk menjadi ratusan bangunan baru di Jakarta. Namun anehnya kualitas hidup kota Jakarta malah terus menurun. Tahun 2004 rankingnya 139 dari 215 kota yang disurvey oleh Mercer Consulting. Tahun 2007 turun menjadi 142. Tahun ini turun lagi menjadi 146. Aneh.

Nampaknya ada yang salah dengan hidup kita. Trilyunan hadir tapi tidak memperbaiki peradaban kota. Ibaratnya ada orang kaya baru dengan uang berlimpah namun penampilannya tetap kusut dan lusuh, wajahnya tetap kotor berjerawat serta badannya tetap bau dan sakit-sakitan. Berlimpah uang tapi tidak menyehatkan hidupnya. Kota ini makin panas dan stress. Kota ini makin kejam dan galak. “To survive, you have to be rich dan mean in Jakarta,” kata sahabat saya orang Australia sudah 5 tahun tinggal di sini. Ia berkesimpulan, hanya orang berduit yang ketus hatinya yang bisa menikmati kota ini dengan leluasa.

Di sisi lain, pasti ada yang salah dengan cara arsitektur dibangun di kota Jakarta. Ribuan bangunan baru hadir di Jakarta. Namun hampir semuanya sangat tidak kontekstual. Ia sibuk sendiri dengan geometrinya. Ia hanya asyik sendiri dengan performa ekonominya. Ia seharusnya bisa dirancang juga untuk merespon satu dua masalah kualitas hidup kota. Dua aspek sering dilupakan para arsitek jika merancang bangunan publik di Jakarta: kontribusi ruang sosial dan ruang hijau publik. Jika negara gagal membawa kota ini menjadi kota layak tinggal, seharusnya dunia swasta bisa memberi kontribusi. Membantu memberi solusi terhadap krisis sosial dan krisis lingkungan melalui arsitektur. Jangan hanya panik saat krisis ekonomi saja. Giliran krisis sosial dan lingkungan hadir disekitarnya, ia tidak bergeming dan menyerahkan semua urusannya kepada negara.

Sudirman CBD adalah contohnya. Ia yang sudah di konsepkan lewat Urban Design Guidelines pun, hasil akhirnya hanyalah sekumpulan bangunan baru yang mewah dan rapi jali. Tidak ada roh kehidupan urban yang sehat dan menyenangkan. Jarang terlihat publik bercengkrama santai di jalur pedestriannya yang ternyata tetap terputus-putus. Tidak ada stimulasi ‘street life’. Semua orang sibuk melarikan diri ruang dalam di Pacific Place. Dalam satu forum arsitek di Singapura, saya menyampaikan keluhan bahwa arsitek-arsitek Singapura yang merancang gedung di Jakarta, tidak menerapkan standar arsitektur yang tinggi dan responsif terhadap isu sosial dan ekologis kota seperti halnya di negaranya sendiri. Giliran mendapat proyek di Jakarta, mereka sama saja dengan sebagian dari kita yang arsitekturnya anti sosial. Padahal ciri kota yang baik, adalah kota yang bisa menggoda warganya untuk keluar rumah dengan sukarela. Bersantai di jalur pedestrian atau bibir bangunan atau berinteraksi di taman kota. Setidaknya itu definisi Enrique Penelosa, mantan walikota Bogota.

***

Salah satu upaya arsitek dalam merespon menurunnya kualitas hidup kota Jakarta adalah memperbaiki pemahaman tentang apa itu hakekat hidup berkota secara sosiologis dan bagaimana arsitektur bisa merespon isu itu. Hidup berkota pada dasarnya kita bersepakat untuk menjadikan aspek anonimitas, heterogenitas, densitas/kepadatan dan aspek intensitas sosial yang ekstrim sebagai isu-isu yang harus kita respon. Sehingga hadirnya ruang jeda atau ruang istirahat sangat dibutuhkan warga kota yang kadar stressnya tinggi. Karenanya GSB atau area sempadan bangunan bisa kita desain dan siasati untuk menjadi ruang jeda dan ruang istirahat sebagai kontribusi dari ranah privat.

Upaya lain dari arsitek adalah dengan memulai usaha untuk merespon krisis lingkungan dangan inovasi-inovasi kretivitas desain atau teknologi jika memungkinkan. Kehadiran ruang sosial atau ruang hijau publik bisa hadir di dalam proyek privat. Atap-atap hijau di rumah-rumah karya Adi Purnomo bisa dijadikan referensi tentang inovasi ruang-ruang hijau kecil dari ranah privat. Jika jumlahnya ribuan bahkan jutaan, mereka pasti bisa merubah struktur ruang hijau kota dan sekaligus menurunkan efek panas dari bangunan. Namba Park di Osaka atau Yokohama Ferry Terminal di Jepang adalah contohyang paling mutakhir. Mereka mengkonversi seluruh atapnya untuk menjadi ruang sosial dan taman publik yang hijau. Sementara ini seluruh lantai dua gedung-gedung tinggi di kawasan CBD Hongkong diberikan untuk publik agar bebas bergerak untuk pedestrian yang bergegas. Inovasi ramah sosial dan ramah lingkungan sudah menjadi menjadi keharusan dikota-kota besar dunia, tidak terkecuali di Jakarta.

***

Momentum perubahan paradigma ini harus dilakukan sekarang, karena dunia bisnis pun sudah mulai melakukan perubahan orientasi. Sudah banyak perusahaan multinasional menjadikan isu green ini sebagai strategi bisnis. Strategi baru ini ternyata terbukti mampu meningkatkan performa bisnisnya. Strategi going green ini dilakukan karena tekanan pasar dan konsumen yang sudah mulai lebih selektif dan hanya memilih produk-produk atau melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang ‘going green’. Majalah Newsweek bulan April tahun 2007 meliput sekitar 10 perusahaan yang performa bisnisnya meningkat tajam setelah mengumumkan ke publik bahwa produk dan cara kerja mereka sudah merespon isu ekologis. Mereka antara lain Adidas, Vestas, Royal Bank of Canada, Lafarde, Westpac Banking, Yell Group, Denso.

Di Jakarta, beberapa developer di Jakarta sudah mulai memahami, bahwa sekarang masyarakat dan pasar lebih memilih proyek-proyek yang punya konsep kuat terhadap isu lingkungan. Survey yang dilakukan oleh pengembang Puri Botanical Garden di Kebon Jeruk membuktikan bahwa isu ramah lingkungan telah menjadi alasan terpenting dari pasar dalam keputusan membeli rumah. Bukan gaya arsitektur atau kemewahan spek bangunan. Karenanya pengembang ini akan meluncurkan konsep green home yang mencoba secara ilmiah untuk benar-benar green. Bahkan tadinya proyek ini akan disertifikasi ke LEED di Amerika Serikat, namun tidak jadi karena LEED belum memiliki mekanisme untuk melakukan sertifikasi rumah tipe kecil diluar negaranya.

Perusahaan-perusahaan multinasional terutama dari Amerika Serikat pun sekarang sudah mulai diwajibkan untuk hanya menyewa gedung perkantoran yang bersertifikasi green. Artinya gedung-gedung perkantoran di Jakarta jika tidak merespon isu ini dengan serius, maka jangka panjang mereka akan ditinggalkan oleh pasar yang semakin selektif. Apalagi menurut beberapa konsultan properti internasional, perusahaan multinasional ini umumnya mau membayar sedikitnya 10 persen lebih mahal untuk bangunan yang ramah lingkungan ini.

Dari pengalaman pribadi memang tidak mudah untuk meyakinkan banyak pihak dalam hal ini. Pemilik proyek umunya masih ragu-ragu terhadap isu green building ini dan selalu beralasan takut mahal dan selalu terburu-buru dalam kejar tayang proyeknya. Padahal isu ini perlu dicerna oleh semua pihak dengan waktu yang cukup. Ini juga terjadi karena kita tidak punya panduan yang jelas dan sederhana. Tidak ada panduan yang user-friendly. Sehingga para arsitek sering terbata-bata jika ditanya hal-hal yang sudah sagat teknis. Ditambah lagi para insinyur mekanikal elektrikal dan konsultan quantity surveyor sering setali tiga uang tidak mau repot untuk melakukan riset tentang produk-produk atau teknologi yang responsif terhadap isu green ini.

Namun diluar kendala-kendala itu, momentumnya sebenarnya sudah hadir. Ini saatnya kita harus bisa merayu semua pihak untuk mulai bersama-sama merespon krisis kualitas hidup kota-kota besar di Indonesia seperti halnya Jakarta. Kiamat planologis sudah di depan mata. Kita harus sama-sama bergerak merespon krisis ekologis dan krisis sosial ini sambil tetap menyeimbangkan kualitas performa bisnis yang baik. Good design while going green is good business. Mari berusaha ke arah sana, berhasil tidaknya tidak harus menjadi ukuran terpenting untuk saat ini. Minimal sudah mencoba dan berupaya. Sisanya kita serahkan pada Yang Kuasa.


‘Greedy and Green’

Setiap pagi di hari-hari ini saya semakin gundah. Gundah, mengetahui modernitas yang kita tumpangi ternyata adalah perahu yang rapuh dan bocor. Hari-hari ini, dunia tiba-tiba mencemaskan hati. Sejak Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, gara-gara kredit perumahan yang macet di Amerika, jutaan orang sudah mulai di-PHK, bisnis global sudah mulai lesu, indeks saham sudah mulai melorot.  Panik. Seorang pialang saham lulusan Harvard pun memutuskan bunuh diri bulan oktober lalu.

 Di dunia investasi saham yang sering rumit dan gerak grafik reksadana di monitor komputer yang sering kita tidak mengerti, keserakahan terlihat sebagai obor olimpiadenya. Dan Amerika adalah pembawa obornya. “In this business, greedy is the new religion,” ungkap seorang pialang saham di Wall Street. Keserakahan korporasi di dunia ekonomi yang Manuel Castels sebut sebagai fenomena‘weightless economy’ ini mulai berimbas ke mana-mana. Minggu ketiga Oktober lalu, hawanya mulai terasa di negeri kita. Resesi tampaknya mulai mengintip di lubang pintu.

 Dan kita paham apa itu resesi. Kita pernah melalui jalan itu. Ekonomi yang jalan ditempat. Bank yang pelit mengucurkan pinjaman. Proyek-proyek yang dihentikan. Fee arsitek yang ditunggak. Konsumen yang malas berbelanja. Pabrik-pabrik yang tutup. “Saya kira hanya efisiensi, ternyata hampir semuanya dirumahkan,”  isak Rina, gadis pekerja di Omnidata di Bandung yang terkena PHK minggu lalu. Di minggu kelabu itu, kita pun melihat saham-saham grup Bakrie, orang terkaya di negeri ini, berjatuhan.

 Tiba-tiba saya teringat Rully, adik kelas saya yang lulus saat krisis global di tahun 1998. Ia yang sangat berbakat dan sempat saya jagokan harus pindah haluan karena tidak ada pekerjaan untuk arsitek di negeri ini. Ia memutuskan bersekolah lagi di bidang ekonomi dan akhirnya bekerja di perusahaan susu multinasional.  Tiba-tiba pula saya teringat Harris, sahabat sepermainan saya di kampus dulu. Di tahun yang sama ia pun pergi jauh dari negeri ini untuk mencari sesuap nasi.  Dan ia memutuskan untuk tidak kembali lagi.

***

 Setiap siang di hari-hari ini saya semakin Risau. Risau, mengetahui perahu modernitas yang kita tumpangi ternyata dibajak oleh orang-orang serakah dan takabur. Di kota-kota kita, keserakahan itu terlihat kasat. Di Bandung, atas nama kemajuan, hutan kota akan dibabat untuk dijadikan shopping mall. Di Kemang, atas nama ekonomi, aturan Koefisien Luas Bangunan (KLB) bernilai satu bisa disulap menjadi delapan kalinya. Hari-hari ini, hidup di negeri sejuta koruptor ini begitu melelahkan.

 Dari sejumlah buku saya mencari paham. Rene Descartes, bapak filosofi Modern, menyatakan bahwa manusia adalah pusat dunia. “Cogito ergo sum”. Karena hanya manusia yang bisa berpikir. Namun sekelompok manusia menerjemahkannya lebih jauh. Bumi dan seisinya hanyalah penyempurna eksistensi manusia. Zat yang tidak bisa bicara dan berpikir hanya hadir untuk dieksploitasi oleh rasionalitas manusia.

 Disini saya sedikit paham, mengapa Istana Group selaku developer dan arsitek sewaannya dari Jakarta ingin membabat hutan Babakan Siliwangi untuk bangunan komersial. Mereka menganggap hutan, bumi dan air tidak bisa bicara dan berpikir, sehingga harus mengalah untuk rasionalitas mereka. Yaitu rasionalitas pertumbuhan kapital mereka yang harus bergerak eksponensial. Masalah ruang hijau Bandung yang hanya 8 persen dari amanat 30 persen tidak akan pernah masuk dalam rasionalitas mereka.

 Ini juga menjelaskan mengapa tidak semua orang Jakarta, Bandung ataupun Surabaya , yang hidup selalu bergegas, mau memahami arifnya filosofi  kultural orang Bali, bijaksananya kaum Baduy ataupun welas asihnya warga Kampung Naga dalam menempatkan alam raya sebagai mitra manusia yang setara. Dari kearifan emosional ini lahirlah konsep hutan larangan, danau sakral, gunung suci yang tidak boleh dijahili. Di mata mereka bumi seisinya bisa kesal, gundah dan marah sehingga harus selalu dijaga  suasana hatinya. Dan upacara-upacara ritual di laut, di hutan atau di bibir gunung adalah bentuk komunikasi dan cara mengobrolnya.

 Namun di mata manusia kontemporer dan kaum penelikung filosofi Modern, hal-hal di atas tidaklah masuk akal. Tidak rasional. Karena itulah Roland Barthes, filsuf semiotik menyebut masyarakat Asia masih didominasi budaya emosional bukan budaya rasional, seperti halnya yang dominan di Barat. Celakanya yang merusak dunia dengan membabat hutan, mengurug pantai, menghilangkan ruang sosial dan hijau kota saat ini lebih banyak dari kelompok yang terakhir  atas nama modernisasi.

 

***

 Setiap malam di hari-hari ini saya semakin khawatir. Khawatir, membayangkan perahu modernitas yang jadi tumpangan ternyata tidak pernah membawa kita sampai ke tujuan. Hari-hari ini, berpikir tentang masa datang selalu berakhir dengan ciutnya hati.

 Berpikir tentang bulan Februari di Jakarta adalah berpikir tentang datangnya banjir besar. Berpikir tentang macetnya Jakarta adalah berpikir tentang hilangnya 43 trilyun peluang ekonomi tahunan dan hilangnya senyum tulus di jalanan. Berpikir tentang Bandung 5 tahun ke depan adalah berpikir tentang parahnya kemacetan, hilangnya ruang-ruang hijau tempat keguyuban sosial, habisnya milyaran rupiah pajak untuk subsidi Persib yang kalah terus atau makin terkurungnya warga Bandung di rumah setiap akhir pekan karena tergerus arus turis Jakarta.

 Hal-hal di atas sering membuat saya merengut, apakah kita sebagai mahluk mathesis universalis Modern ini baru tergerak akal sehatnya setelah diberi amarah alam dan murka Tuhan. Kita baru bergerak membuat sistem kanal banjir, setelah banjir besar menenggelamkan dan mempermalukan Jakarta. Kita baru bergerak mengencangkan aturan perbankan  setelah krisis moneter dan BLBI menguap. Kita  baru bergerak untuk going green  ala arsitek William McDonough setelah hawa kota terasa makin panas, listrik PLN sering mati mendadak atau setelah Al Gore bertutur getir di film The Inconvenient Truth.

 Kadang terpikir,  di hidup yang hanya sekelebat ini, menarik juga melamunkan hidup sebagai warga pedalaman Kampung Baduy atau Kampung Naga yang sederhana. Lahir sederhana, berpikir dan bertindak sederhana serta mati pun sederhana pula. Tidak ada keserakahan.

 Setidaknya kita bisa belajar dari kearifan mereka tentang luhurnya definisi kata ‘cukup’.  Tentang pentingnya menghargai alam sebagai teman berdialog. Tentang perlunya memahami filosofi berbasis kearifan emosional.  Tak apalah Roland Barthes bilang kita kaum emosional. Daripada jadi kaum rasional penghancur dunia ala segelintir oportunis Wall Street atau segerombolan developer serakah yang kaya raya namun  merusak dunia.

 Mungkin sudah saatnya konsep manusia sebagai pusat dunia yang angkuh bergeser menjadi manusia sebagai rahmat dunia yang arif. Menjadi elemen ‘Rahmatan Lil Allamin’.

 

Praha, Oktober 2008