Archive for November 11th, 2008

‘Greedy and Green’

Setiap pagi di hari-hari ini saya semakin gundah. Gundah, mengetahui modernitas yang kita tumpangi ternyata adalah perahu yang rapuh dan bocor. Hari-hari ini, dunia tiba-tiba mencemaskan hati. Sejak Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, gara-gara kredit perumahan yang macet di Amerika, jutaan orang sudah mulai di-PHK, bisnis global sudah mulai lesu, indeks saham sudah mulai melorot.  Panik. Seorang pialang saham lulusan Harvard pun memutuskan bunuh diri bulan oktober lalu.

 Di dunia investasi saham yang sering rumit dan gerak grafik reksadana di monitor komputer yang sering kita tidak mengerti, keserakahan terlihat sebagai obor olimpiadenya. Dan Amerika adalah pembawa obornya. “In this business, greedy is the new religion,” ungkap seorang pialang saham di Wall Street. Keserakahan korporasi di dunia ekonomi yang Manuel Castels sebut sebagai fenomena‘weightless economy’ ini mulai berimbas ke mana-mana. Minggu ketiga Oktober lalu, hawanya mulai terasa di negeri kita. Resesi tampaknya mulai mengintip di lubang pintu.

 Dan kita paham apa itu resesi. Kita pernah melalui jalan itu. Ekonomi yang jalan ditempat. Bank yang pelit mengucurkan pinjaman. Proyek-proyek yang dihentikan. Fee arsitek yang ditunggak. Konsumen yang malas berbelanja. Pabrik-pabrik yang tutup. “Saya kira hanya efisiensi, ternyata hampir semuanya dirumahkan,”  isak Rina, gadis pekerja di Omnidata di Bandung yang terkena PHK minggu lalu. Di minggu kelabu itu, kita pun melihat saham-saham grup Bakrie, orang terkaya di negeri ini, berjatuhan.

 Tiba-tiba saya teringat Rully, adik kelas saya yang lulus saat krisis global di tahun 1998. Ia yang sangat berbakat dan sempat saya jagokan harus pindah haluan karena tidak ada pekerjaan untuk arsitek di negeri ini. Ia memutuskan bersekolah lagi di bidang ekonomi dan akhirnya bekerja di perusahaan susu multinasional.  Tiba-tiba pula saya teringat Harris, sahabat sepermainan saya di kampus dulu. Di tahun yang sama ia pun pergi jauh dari negeri ini untuk mencari sesuap nasi.  Dan ia memutuskan untuk tidak kembali lagi.

***

 Setiap siang di hari-hari ini saya semakin Risau. Risau, mengetahui perahu modernitas yang kita tumpangi ternyata dibajak oleh orang-orang serakah dan takabur. Di kota-kota kita, keserakahan itu terlihat kasat. Di Bandung, atas nama kemajuan, hutan kota akan dibabat untuk dijadikan shopping mall. Di Kemang, atas nama ekonomi, aturan Koefisien Luas Bangunan (KLB) bernilai satu bisa disulap menjadi delapan kalinya. Hari-hari ini, hidup di negeri sejuta koruptor ini begitu melelahkan.

 Dari sejumlah buku saya mencari paham. Rene Descartes, bapak filosofi Modern, menyatakan bahwa manusia adalah pusat dunia. “Cogito ergo sum”. Karena hanya manusia yang bisa berpikir. Namun sekelompok manusia menerjemahkannya lebih jauh. Bumi dan seisinya hanyalah penyempurna eksistensi manusia. Zat yang tidak bisa bicara dan berpikir hanya hadir untuk dieksploitasi oleh rasionalitas manusia.

 Disini saya sedikit paham, mengapa Istana Group selaku developer dan arsitek sewaannya dari Jakarta ingin membabat hutan Babakan Siliwangi untuk bangunan komersial. Mereka menganggap hutan, bumi dan air tidak bisa bicara dan berpikir, sehingga harus mengalah untuk rasionalitas mereka. Yaitu rasionalitas pertumbuhan kapital mereka yang harus bergerak eksponensial. Masalah ruang hijau Bandung yang hanya 8 persen dari amanat 30 persen tidak akan pernah masuk dalam rasionalitas mereka.

 Ini juga menjelaskan mengapa tidak semua orang Jakarta, Bandung ataupun Surabaya , yang hidup selalu bergegas, mau memahami arifnya filosofi  kultural orang Bali, bijaksananya kaum Baduy ataupun welas asihnya warga Kampung Naga dalam menempatkan alam raya sebagai mitra manusia yang setara. Dari kearifan emosional ini lahirlah konsep hutan larangan, danau sakral, gunung suci yang tidak boleh dijahili. Di mata mereka bumi seisinya bisa kesal, gundah dan marah sehingga harus selalu dijaga  suasana hatinya. Dan upacara-upacara ritual di laut, di hutan atau di bibir gunung adalah bentuk komunikasi dan cara mengobrolnya.

 Namun di mata manusia kontemporer dan kaum penelikung filosofi Modern, hal-hal di atas tidaklah masuk akal. Tidak rasional. Karena itulah Roland Barthes, filsuf semiotik menyebut masyarakat Asia masih didominasi budaya emosional bukan budaya rasional, seperti halnya yang dominan di Barat. Celakanya yang merusak dunia dengan membabat hutan, mengurug pantai, menghilangkan ruang sosial dan hijau kota saat ini lebih banyak dari kelompok yang terakhir  atas nama modernisasi.

 

***

 Setiap malam di hari-hari ini saya semakin khawatir. Khawatir, membayangkan perahu modernitas yang jadi tumpangan ternyata tidak pernah membawa kita sampai ke tujuan. Hari-hari ini, berpikir tentang masa datang selalu berakhir dengan ciutnya hati.

 Berpikir tentang bulan Februari di Jakarta adalah berpikir tentang datangnya banjir besar. Berpikir tentang macetnya Jakarta adalah berpikir tentang hilangnya 43 trilyun peluang ekonomi tahunan dan hilangnya senyum tulus di jalanan. Berpikir tentang Bandung 5 tahun ke depan adalah berpikir tentang parahnya kemacetan, hilangnya ruang-ruang hijau tempat keguyuban sosial, habisnya milyaran rupiah pajak untuk subsidi Persib yang kalah terus atau makin terkurungnya warga Bandung di rumah setiap akhir pekan karena tergerus arus turis Jakarta.

 Hal-hal di atas sering membuat saya merengut, apakah kita sebagai mahluk mathesis universalis Modern ini baru tergerak akal sehatnya setelah diberi amarah alam dan murka Tuhan. Kita baru bergerak membuat sistem kanal banjir, setelah banjir besar menenggelamkan dan mempermalukan Jakarta. Kita baru bergerak mengencangkan aturan perbankan  setelah krisis moneter dan BLBI menguap. Kita  baru bergerak untuk going green  ala arsitek William McDonough setelah hawa kota terasa makin panas, listrik PLN sering mati mendadak atau setelah Al Gore bertutur getir di film The Inconvenient Truth.

 Kadang terpikir,  di hidup yang hanya sekelebat ini, menarik juga melamunkan hidup sebagai warga pedalaman Kampung Baduy atau Kampung Naga yang sederhana. Lahir sederhana, berpikir dan bertindak sederhana serta mati pun sederhana pula. Tidak ada keserakahan.

 Setidaknya kita bisa belajar dari kearifan mereka tentang luhurnya definisi kata ‘cukup’.  Tentang pentingnya menghargai alam sebagai teman berdialog. Tentang perlunya memahami filosofi berbasis kearifan emosional.  Tak apalah Roland Barthes bilang kita kaum emosional. Daripada jadi kaum rasional penghancur dunia ala segelintir oportunis Wall Street atau segerombolan developer serakah yang kaya raya namun  merusak dunia.

 Mungkin sudah saatnya konsep manusia sebagai pusat dunia yang angkuh bergeser menjadi manusia sebagai rahmat dunia yang arif. Menjadi elemen ‘Rahmatan Lil Allamin’.

 

Praha, Oktober 2008